Ia adalah pagi yang dingin di pertengahan bulan Mei yang kering.
Seharusnya bulan Mei adalah bulan paling kering di Sabah kerana pada ketika ini kaum KadazanDusun akan meraikan musim menuai padi. Tapi mungkin saja gejala pencemaran alam telah memutuskan rantaian itu hingga menyebabkan bumi merasa bingung lalu menumpahkan kedinginannya pada saat ia tidak sepatutnya ada. Kedinginan yang datang tidak diduga itu, dan sesungguhnya memang sangat tiba-tiba sekali, telah menjadikan pagiku tidak sesempurna seperti biasa. Ia telah menjadikan aku malas untuk bangkit dari tilam hingga aku terlambat bangun pagi. Konsekuensinya, tentu saja aku terlambat ke sekolah. Aku jadi kelam-kabut menyediakan itu dan ini yang seharusnya sudah kubenahi dari semalam. Rasa panik mulai mencengkam apalagi kalau Umi sudah mulai menambah beban perasaan itu dengan leteran-leteran para ibu yang dialognya kukira sama saja di seluruh dunia.
Aku bergerak keluar dari rumah tanpa sarapan dan tanpa restu. Umiku yang prihatin itu kutinggalkan berleter sendirian tanpa dia menyedari kalau anaknya ini sudah pun berada di jalan simpang. Aku melajukan langkahku dua kali ganda cepatnya dari biasa. Jarak dari rumah ke sekolah kurang daripada 600meter. Untuk pertama kalinya aku baru menyedari kalau jarak itu terasa jauh sekali. Jam yang melingkar di tanganku sudah menunjukkan ke angka 7, lebih 3 minit. Aku benar-benar sudah terlambat. Sesaat aku berfikir berpatah balik ke rumah adalah lebih baik daripada aku ditangkap oleh sang pengawas yang tanpa belas akan menyenaraikan nama pelajar-pelajar lewat ke muka guru disiplin. Lebih malang lagi, kalau aku terlewat 5 minit dari sekarang, tugas menyenaraikan nama pelajar lewat akan segera diganti oleh pengawal keselamatan yang tua dan perasan tegas itu. Dia pasti akan meleteri kami tentang itu dan ini dan memberi nasihat-nasihat seorang bapa sementara tangannya mencoret-coret nama kami di buku catatannya.
Namun kakiku ternyata beraksi lebih laju dari otakku. Sebelum sempat aku membuat keputusan, nyatanya aku sudah sampai ke depan pintu pagar sekolah.Agak terlambat untuk berpatah balik kerana aku sudah terlanjur dilihat oleh sang pengawas yang sedang berdiri menunggu mangsa di muka pintu pagar sekolah. Aku tergamam tidak berkutik dari tempatku berdiri yang hanya berjarak beberapa meter jauhnya. Tepat di hadapanku kini, berdiri sang pengawas yang sangat kukenali dan aku rindui sekaligus yang sangat ingin aku jauhi.
Iman berdiri menatapku dengan takjub. Barangkali dia tidak menyangka kalau namaku akan bakal tersenarai dalam buku catatannya. Bukan kebiasaanku datang lewat seperti ini. Jauh sekali menjadi habit yang susah dimungkiri. Sungguhpun aku bukan pelajar cemerlang sepertinya, namun disiplin yang abah terapkan sepanjang usia kami menjadi anaknya adalah nadi yang mendenyut dalam kehidupanku.
Iman masih terus berdiri menatapku, dan aku masih seorang dungu yang bisu. Kaku, itulah yang mewarnai alam kami saat itu. Namun dalam masa yang sedetik cuma, Iman mulai menguasai keadaan. Wajahnya yang tegang sudah kembali tenang. Oh, maaf, bukan tenang tapi dingin hingga aku merasakan kedinginan itu dalam darahku.
Perlahan, bagai seorang anak kecil yang baru mulai pandai berjalan, aku melangkah merapati pintu pagar. Kaki ini, terasa amat berat sekali.Tidak ada jalan lain untuk diambil selain sebuah jalan sempit yang dibuka muat hanya untuk sebatang tubuh seorang pelajar. Aku menarik nafasku. Getir. Ada rasa ngilu yang menyiat jauh ke ulu hati. Debar pun mulai memainkan lagunya dalam dadaku. Wahai hati, berhentilah menderaku. Tabahkan saja dirimu supaya takutmu tidak terlukis pada wajahku.
“Nama?” tanyanya tanpa memandangku sambil tangannya bersedia mencoret sesuatu ke dalam buku catatannya. Dingin lagi.
“Dian,”
“Penuh?”
Aku menggertap gigiku geram. “Nur Diani Amri,”
“Kelas?”
“5 Sastera,”
“Sebab lewat?”
“Lewat bangun,”
Tangannya terhenti seketika. Dia memalingkan anak matanya ke samping seolah berfikir cara terbaik untuk terus menderaku.
“Lewat bangun maknanya tak solat subuhlah,”
“Ya,”
“Ya apa?”
Baiklah. Kali ini aku benar-benar sudah mulai terdera. “Ya, saya tak solat subuh sebab saya tak boleh solat. Ada soalan lagi?”
Dia menghentikan catatannya. Kukira dia akan berfikir lagi. Namun aku silap. Dia malah menoleh padaku, menatapku terus ke dalam anak mata. Matanya, ya, matanya yang indah dan selalu mempesona itu menerbit rasa janggal dan sakit hati.
“Ada,” jawabnya lurus dan tentu saja, dingin.
Aku memejamkan mataku sekejap, lalu membukanya kembali. “Apa?”
“Soalan yang sama yang aku tanyakan saat kali terakhir kita bertemu di dewan. Kau tidak menjawabnya hari itu dan aku mahu menuntut jawapan itu hari ini. Ada penjelasan?” tanyanya lurus bagai peluru berpandu yang menikam hatiku. Aku menggigit bibirku antara sakit hati dan pilu. Mataku pun mula menggelupur antara rasa haru dan malu. Perlukah soalan itu ditanya saat ini?
Aku memberanikan diri membalas renungannya. Kukira bibirku menggeletar saat itu dan aku tahu sekejap lagi pasti mataku yang menggelupur itu bakal basah dan memburaikan isinya. Bermacam jawapan tersedia untuk keluar dari mulutku namun sesuatu itu- dalam dadaku atau kerongkongku menahannya dengan kuat. Dia kelihatan begitu yakin menunggu jawapanku. Kami masih berbalas pandang hingga akhirnya aku memutuskan untuk tewas dengan mata itu. Tanpa suara, aku pun meninggalkannya di situ, menelan semua penjelasanku dan mengheret pergi sebuah harapan yang semakin aku koyakkan. Kukira saat itu secabik hatiku tertinggal bersamanya.
Aku terus masuk ke kelas dengan baur rasa yang semakin aneh. Saat aku masuk, kelas Bahasa Melayu baru saja dimulai. Gurunya, Cikgu Dayang yang sekaligus guru kelas kami, mengacuhkan saja kelewaanku sungguhpun dia menyedarinya. Aku duduk di sisi Mawar dan Risa yang menyambut kehadiranku dengan senyum.
Kelas pun dimulai. Puan Dayang memberi penjelasan tentang itu dan ini; tentang hukum tatabahasa yang kurang dikuasai kami juga tentang pembinaan ayat yang tidak pernah sematang usia 17 tahun. Penerangannya berlalu dan bertalu dalam kepalaku yang kemudiannya berbalam-balam dengan wajah Iman. Satu demi satu contoh hasil kerja kami dipamerkan dan aku berdoa agar kerjaku tidak dijadikan bahan kritikan yang seterusnya.
Lalu tiba-tiba saja Puan Dayang mempamerkan sebuah sajak yang dipilihnya dari Pertandingan Mencipta Puisi yang dianjurkan oleh Persatuan Bahasa Melayu beberapa minggu lepas. Puisi itu dipilihnya untuk dijadikan bahan contoh kami hari ini kerana kematangan bahasa dan diksi yang digunakan oleh si pencipta puisi tersebut menarik perhatian pihak juri, katanya. Saat itu, aku masih terus tenggelam dalam ilusiku, hinggalah telingaku menangkap bait-bait puisi yang dibaca oleh Puan Dayang dengan penuh jelas.
“Saat hujan renyai dan wajahmu pun singgah
Berdenai hatiku dalam sepi yang menekur rasa mati
Lalu aku pun jadi sendiri.
Rindu barangkali hukuman terbaik untuk si pesalah cinta
Maka aku pun tersudut dalam penjara yang biru.
Sebiru namaku.
Tidakkah kau merasa haru?
Namun hati tidaklah tercipta untuk terus menjadi pandir
Penjara ini tidak hanya memekap rinduku
Tapi juga warasku.
Lalu saat emosi mengalahkan logika,
Aku pun tewas dalam rasa bebal dan khilaf.
Dungu kucari jalan keluar
Namun jendela dan pintuku sudah kau kunci mati
Hingga kompasku pun tak berguna lagi.
Duhai,
Adakah cinta itu sememangnya aneh?
Semahunya ia menyasar kita ke landasan yang mengelirukan
hingga akal pun selalu tersesat jalan.
Kalau warasnya terhenti di simpang tiga,
kenapa tidak kita balik saja di jalan yang cuma ada satu?
Tanpa simpang,
supaya langkah kita tak semakin tersiur?”
Sepi mengganti ruangan kelas begitu Puan Dayang selesai mendeklamasikan sajak di tangannya. Sepi sekali. Aku tertegun di tempatku duduk tanpa nafas, tanpa gimang. Kaku menguasai rantai jiwaku. Puisi itu, jerit hatiku di dalam, kepunyaanku! Luna Biru, itu nama penaku. Nama yang kuambil dari seorang karakter dalam komik Jepun yang bertajuk Blue Moon. Nama itu kemudiannya ku melayukan kerana aku begitu terambisi dengan cerita itu. Dari mana dia mendapatkan puisi itu? Siapa yang menghantarkannya untuk pertandingan puisi sekolah? Aku terlalu penakut untuk menjadi si pemberani seperti itu. Puisi bagiku adalah sebuah lakaran jiwa yang paling rahsia yang tidak mungkin kukongsi dengan sesiapapun. Puisi bagiku hanyalah coretan pembunuh sepi di tengah malam yang cuma diari dan bantalku menjadi pembacanya. Siapa yang begitu ceroboh melanggar hak peribadiku sampai ke tahap itu? Aku menyebarkan mataku ke seluruh kelas, mencuba mencari pelaku pada pencerobohan itu. Mawar dan Risa tentunya orang pertama yang wajar aku curigai. Tapi mereka kelihatannya begitu tenang sekali.
“Puisi ini bertajuk Denai Hati dan ditulis oleh Luna Biru,” ulas Cikgu Dayang begitu mendapati tiada reaksi yang lahir dari mulut pelajar kelas. Dia menatap kami satu persatu. “Persoalannya, siapa Luna Biru? Kenapa dia menggunakan nama samaran dan tidak menggunakan nama penuhnya ketika menghantar karya ini?”
Suasana kelas mulai hidup kembali. Masing-masing melontar pendapat dan ada juga yang meminta Cikgu Dayang membacakannya lagi. Tidak ada satu pun kata-kata yang diendahkan oleh Cikgu Dayang. Tenang, dia terus mengulas sajak tersebut dan mengkritik dan memuji tentang itu dan ini; tentang gaya bahasa, tentang diksi, melankolik dan ya, maaf, aku sudah tidak mendengarnya lagi. Otakku sudah penuh dengan beribu tanda tanya yang akhirnya berbalik pada soalan yang sama juga iaitu, siapa pelaku semua ini?
Akhirnya, bila tidak ada yang mengaku, Cikgu Dayang menutup kisah puisi itu dan berjanji akan menaipnya semula dan melekatnya di papan kenyataan supaya bebas dibaca oleh pelajar lainnya. Dia juga mengatakan bahawa puisi itu tidak akan memenangi apa-apa anugerah kerana tema yang digunakan adalah lebih berunsur cinta kepada kekasih, sedangkan tema pertandingan adalah cinta kepada negara. Patriotik. Itulah yang sepatutnya. Samada si penghantar karya seorang yang tidak prihatin pada syarat pertandingan, ataukah dia sengaja menganiayaku kerana dia tahu sajak itu milikku?
Cerita sajak si Luna Biru sudah menggantikan seluruh cerita burukku dengan Iman. Aku pun mulai merubah kompas. Saat semua pelajar resah memecah misteri si Luna, aku terus resah mencari si punca angkara. Namun petunjuk nampaknya tidak sama sekali menyebelahiku. Petunjuk itu nyatanya juga tidak menyebelahi mereka. Aku terlalu bijak menyembunyikan diri. Bahkan, hingga akhirnya seorang pelajar perempuan tampil mengakui dirinya sebagai Luna Biru. Saat itu hatiku memberontak mahu memperbetulkan keadaan. Tapi, ah, persetan saja pada semua itu. Aku boleh mencipta seratus sajak seperti itu dalam satu malam sekalipun. Berdiam diri adalah lebih baik daripada aku mengakuinya. Pasti dalam masa sekejap saja mereka tahu puisi itu kutujukan pada siapa begitu tahu bahawa akulah pelakunya. Oh, tolonglah. Lebih baik aku mati daripada menjadi bahan cerita sekali lagi. Biarlah aku terus menjadi penakut.
No comments:
Post a Comment