Lalu begitulah, titik
.
Semenjak detik itu, maka kini, hari-hariku pun jadi berbeza. Kehidupanku yang sebelumnya bagai taman yang punya bunga-bunga merah putih dan kupu-kupu cantik yang punya kepak menawan telah bertukar menjadi satu laluan kering yang kemarau dan berbatu-batu.Tidak ada lagi pertemuan yang semacam tak sengaja tetapi jelas dirancang itu di perpustakaan. Tidak ada lagi bicara asal ada yang melingkari pertemuan tiap petang. Tidak ada lagi pandang curi dan senyum malu-malu pada sebuah pertemuan yang terlewatkan. Kalaupun jalan kami bertembung, keduanya akan segera memaling muka bagaikan dua manusia asing di daerah yang sepi. Kam pun masing-masing. Keakraban yang bersemi dalam musim bunga yang baru berputik bertukar menjadi jauh lebih asing dari sebelumnya.
Namun, sungguh aku tidak mampu menghentikan ingatan tentangnya yang selalu berkelabat di kelam malam, saat sunyi itu hadir dan mulai membunuhku. Ingatan tentangnya adalah bagai bayi yang baru lahir di tengah malam, menimbulkan sesak di ulu hati dan rasa ngilu yang memerih. Aku membenci rasa itu kerana sesungguhnya ia enggan sekali diusir pergi meski berkali-kali kuhalau. Perasaan itu - sesuatu yang dipanggil gelisah, adalah bagai ombak yang tidak pernah putusnya memukuli hatiku. Ia terus saja memaksa aku untuk terus tewas menjadi seorang perkasa hingga pada akhirnya yang kutemukan esoknya hanyalah sembab di mata.
Terkadang, ingin saja kutinjau dari balik tirai kalau-kalau dia masih memandangiku seperti selalu. Namun, aku tidak punya cukup keberanian untuk itu. Enggan kalau-kalau hatiku berubah lagi begitu melihat kolam nan jernih lewat matanya. Ah, masihkah matanya sejernih itu setelah kusakiti hatinya tanpa sebab yang mampu kujelaskan padanya? Iman juga kelihatannya sudah lelah mengejar langkahku yang makin tidak tentu rentaknya. Marah benar barangkali dia. Atau munkin juga dia sudah mulai keliru dengan rasa abai yang kukirimkan lewat tingkahlakuku.
Perubahan drastik kami, tentu saja dengan mudahnya dihidu oleh sang dalang yang selalu menjadi pemerhati terbaik. Namun aku silap tentang suatu hal. Kukira aku sudah membuat keputusan yang bijak dengan menidakkan kehadiran Iman, atau semacam mengambil sikap tidak peduli. Nyatanya, tindakanku sama sekali tidak menghentikan petualangan itu kerana mereka adalah deretan manusia yang tidak pernah puas dengan apapun. Aku malah dijadikan bahan ketawa dengan cerita kononnya aku hanyalah sang pemimpi yang merindukan bulan. Sungguh tak sedar perempuan seperti aku bermimpi mahu berdampingan dengan sang pujaan. Sindiran itu masuk begitu saja ke telingaku dan ia menambahkan beban yang berpanjangan lagi menyeksakan.
Lalu samada aku menyukainya atau tidak, nyatanya suatu hari aku menemukan sesuatu yang semakin membuatkan aku tersudut dalam duniaku yang memar. Dia, perempuan itu, seseorang yang bernama Elina, telah mulai merapatinya. Aku mendapati pertemuan mereka seusai beberapakali mesyuarat Ahlijawatankuasa yang kami hadiri bersama. Iman pengerusinya dan perempuan itu setiausahanya. Entah aku yang kurang prihatin atau sememangnya episod itu baru saja berlaku; nyatanya keduanya kelihatan sangat akrab sejak akhir-akhir ini. Tepatnya, semenjak- ya, semenjak hari itulah.
Menyaksikan semua adegan itu bagai ada cermin yang retak dalam hatiku. Retak itu menghiris rasa ngilu yang tidak pernah sempat sembuh. Semakin hari, aku semakin diasak dengan episod baru dan setiap hari, ada saja penambahan baru yang berungkai dari episod sebelumnya. Iman sepertinya sengaja memperlihatkan aku tentang dunia baru yang sangat dinikmatinya. Aku pun mulai ditakar gelisah lagi takut kalau-kalau semudah itu aku dienyahkan keluar dari lakar kehidupannya hingga menjadikan kisah kami perlahan-lahan menjadi cerita usang. Tapi tentu saja aku tidak dapat menyalahkan dia atas semua ini kerana sememangnya antara kami memang tidak pernah terungkai semacam bentuk perjanjian atau ungkapan yang membuatkan aku merasa berhak untuk menjadi marah atau cemburu. Hidup adalah tentang pilihan. Aku telah memilih jalan ini sungguhpun ianya terasa amat menyeksakan. Tapi bak kata abah, rasa sakit selalunya hadir tatkala kita terlalu banyak mencampurkan ramuan harapan dalam sebuah mangkuk yang terlalu kecil. Aku telah memahar sebuah harapan besar tanpa mengukur besar atau kecilnya mangkuk kemampuanku dan di situlah kebodohanku itu bermula.
Aku berusaha untuk terus memekap sikap tidak acuh pada semua itu. Aku mengikuti persatuan penyiaran yang dipengerusikan Risa, aku menyibukkan diriku dengan kumpulan belajar yang ternyata lebih banyak bergosip dari menelaah, aku juga sudah bergabung dengan kumpulan bola tampar kampung setiap petang dan aku juga turut mengikuti persatuan gerak seni silat setiap hujung minggu. Namun, bila aku menjadi sendiri lagi di kamarku empat segi berwarna biru muda, kerinduan itu datang lagi hingga menjadikan aku si pemuisi yang mencipta sajak-sajak picisan tentang cinta dan rindu.
Musim bunga sudah berakhir. Itu kenyataan yang harus kuakui. Ajarilah aku untuk menerimanya dengan baik. Ya Tuhan, betapa aku rindu pada jenguk sebuah bahagia yang mencium pipiku di awal pagi saat kubuka tirai jendela seperti waktu-waktu sebelumnya. Kembalikanlah bahagia itu Tuhan.
No comments:
Post a Comment