Thursday, January 26, 2012

Puisi si Luna Biru

Ia adalah pagi yang dingin di pertengahan bulan Mei yang kering.

Seharusnya bulan Mei adalah bulan paling kering di Sabah kerana pada ketika ini kaum KadazanDusun akan meraikan musim menuai padi. Tapi mungkin saja gejala pencemaran alam telah memutuskan rantaian itu hingga menyebabkan bumi merasa bingung lalu menumpahkan kedinginannya pada saat ia tidak sepatutnya ada. Kedinginan yang datang tidak diduga itu, dan sesungguhnya memang sangat tiba-tiba sekali, telah menjadikan pagiku tidak sesempurna seperti biasa. Ia telah menjadikan aku malas untuk bangkit dari tilam hingga aku terlambat bangun pagi. Konsekuensinya, tentu saja aku terlambat ke sekolah. Aku jadi kelam-kabut menyediakan itu dan ini yang seharusnya sudah kubenahi dari semalam. Rasa panik mulai mencengkam apalagi kalau Umi sudah mulai menambah beban perasaan itu dengan leteran-leteran para ibu yang dialognya kukira sama saja di seluruh dunia.

Musim semi yang berakhir

Lalu begitulah, titik
.
Semenjak detik itu, maka kini, hari-hariku pun jadi berbeza. Kehidupanku yang sebelumnya bagai taman yang punya bunga-bunga merah putih dan kupu-kupu cantik yang punya kepak menawan telah bertukar menjadi satu laluan kering yang kemarau dan berbatu-batu.Tidak ada lagi pertemuan yang semacam tak sengaja tetapi jelas dirancang itu di perpustakaan. Tidak ada lagi bicara asal ada yang melingkari pertemuan tiap petang. Tidak ada lagi pandang curi dan senyum malu-malu pada sebuah pertemuan yang terlewatkan. Kalaupun jalan kami bertembung, keduanya akan segera memaling muka bagaikan dua manusia asing di daerah yang sepi. Kam pun masing-masing. Keakraban yang bersemi dalam musim bunga yang baru berputik bertukar menjadi jauh lebih asing dari sebelumnya.

Tuesday, January 24, 2012

Turunlah ke bumi


            Nyatanya bahagia itu tidak bakal kita menjenguk setiap hari. Seperti langit yang membiru, suatu saat, pasti dilitupi awan kelabu abu yang berbalam antara putih dan hitam. Mungkin aku terleka menatap langit yang biru sampai aku lupa tentang wujudnya awan. Atau barangkali saja aku berfikir bahawa kalaupun awan itu datang, pasti ia dalam bentuk seputih salju. Aku lupa kalau awan itu boleh juga datang dalam bentuk hitam dan berat, lalu menumpahkan segala isinya ke bumi hingga membanjiri dunia. Ya. Duniaku yang selalu disinari bahagia itu kini sudah mulai dibanjiri oleh rintik-rintik hujan yang mulai menderas.

Monday, January 23, 2012

Bahagia seperti apa adanya


            Semenjak detik itu hariku jadi luar biasa indahnya. Langit kelihatan luar biasa birunya dan angin terasa luar biasa damainya. Dunia pun seakan ikut tersenyum merai senyumku yang tak pernah mahu melekang dari bibir. Sebuah bicara itu ternyata telah menghanyutkan aku dalam dunia khayal bagai seorang remaja yang kecanduan cinta. Eh, nanti dulu. Cinta? Inikah yang digelar cinta bila kau merasa seperti terlonjak di atas langit saat melihat senyumnya, atau merasa renjatan elektrik saat disapa olehnya lalu membawa getar itu dalam mimpi saat kau tidur? Barangkali terlalu awal mendefinisikannya apalagi ini adalah kali pertamanya aku melalui kadar denyutan jantung yang luar biasa cepatnya ini. Aku tidak mahu jadi remaja yang gegabah menterjemah perasaan sendiri. Kakak bilang, di usia remaja kita sering keliru memikir antara cinta dan pesona. Tapi sungguh, perasaan ini sungguh menyeksakan dan aku tidak mampu mengawal adrenalin yang mengalir dalam darahku setiap detik saat wajahnya muncul di balik bantal dan kamar tidurku.   

Saturday, January 21, 2012

Bicara Pertama


        Masa berlalu dan kami masih seperti dua manusia asing yang bertemu sekali-sekali pada pertemuan yang tidak disengaja. Senyum. Itulah yang saling bertukar antara kami. Juga balas pandang yang selalu berasal dari sebuah pandang curi. Kami bertemu di padang sekolah setiap petang saat latihan olahraga dijalankan. Dia mengambil acara lompat jauh manakala aku pula pelari pecut 100meter. Dia memerhatikanku berlari manakala aku pula memerhatikannya saat dia mula beraksi. Lalu begitulah. Acara memerhati itu tamat begitu saja begitu jam pulang sudah tiba.

Kutemukan dia di sini


Hari ini sudah masuk hari ketiga aku di sekolah baru. Perasaan gelisah sudah mulai menguasai diri. Jujur, aku begitu merindukan sepasang mata itu. Aku masih ingin menatapnya meski cuma dari jauh. Agak mustahil aku tidak menemukannya di mana-mana di sekitar sekolah yang luasnya agak sederhana ini.  Tidakkah dia juga ingin bertemu aku? Atau, benarkah aku sudah benar-benar menerbit rasa tidak selesa dalam dirinya hingga dia tidak berkeinginan langsung untuk mencari aku? Oh, perasan betul, bentakku sendiri. Siapalah aku untuk diincar oleh seorang pelajar lelaki berjawatan tinggi dengan aset yang begitu mahal? Sudah pastilah lelaki setampan dia punya ramai peminat dan tentu saja, sudah punya pilihan sendiri.

Kelas 5 Sastera; Dia bukan di sini.


Aku diletakkan di kelas 5 Sastera bersama 40 orang pelajar lain. Kehadiranku menjadikan jumlah pelajar di kelas itu kepada angka 41. Cukup sesak rasanya untuk sebuah kelas berukuran 25X30 kaki dengan jarak dari lantai ke siling sekitar 14 kaki.