Saturday, January 21, 2012

Bicara Pertama


        Masa berlalu dan kami masih seperti dua manusia asing yang bertemu sekali-sekali pada pertemuan yang tidak disengaja. Senyum. Itulah yang saling bertukar antara kami. Juga balas pandang yang selalu berasal dari sebuah pandang curi. Kami bertemu di padang sekolah setiap petang saat latihan olahraga dijalankan. Dia mengambil acara lompat jauh manakala aku pula pelari pecut 100meter. Dia memerhatikanku berlari manakala aku pula memerhatikannya saat dia mula beraksi. Lalu begitulah. Acara memerhati itu tamat begitu saja begitu jam pulang sudah tiba.

Kami juga kerap bertemu di perpustakaan, tempat pertama ku ketahui namanya. Ia bagaikan sebuah janji yang tidak pernah dimaterikan. Kalau bukan dia yang ada di sana dulu, pasti aku. Kami masih duduk di meja bertentangan tanpa keberanian untuk saling membalas pandang. Namun kali ini, Mawar dan Risa sudah tidak ada lagi untuk saling mentertawakan. Mereka sudah punya tugas sendiri menjaga konti penyiaran pada waktu rehat. Lalu tinggallah aku sendiri dan sejujurnya, aku menyenangi keadaan itu. Ia membebaskan aku dari terus berpura-pura di hadapan mereka.

Namun suatu hari seakan ada yang mencurangi nasib. Aku lewat datang ke perpustakaan kerana diminta guru mengangkat buku ke bilik guru. Setelah itu, guruku yang tidak memahami derau rasaku itu memintaku lagi menyusun buku-buku itu di atas rak kemas-kemas. Akhirnya, bila siap, masa rehat cuma berbaki beberapa minit. Aku berlari naik meniti tangga menuju ke perpustakaan dan saat itulah, dia sedang turun menjadikan jalan kami bersilangan bertemu. Sejenak, pandangan kami bertemu, dan aku sudah nyaris seperti orang dungu.

            Tidak ada jalan lain untuk lari saat itu meski kuharap agar aku dapat lenyap sesegera yang mungkin. Ternyata, bukan aku saja yang dungu dan gagap. Dia juga sudah mulai salah tingkah, berdiri dengan kaki kirinya di atas dan yang sebelahnya di bawah. Akhirnya, hening itu dipecahkan juga oleh sapaannya,
            “Hai,”
            “Hai,”                                                                            
“Kau lambat,”
“Ya…maaf…aku…”
            “Kukira kau ikut temanmu bertugas di konti. Aku baru saja mahu menjengukmu di sana,”
            “Oh…tidak…aku…”aku terhenti tidak tahu harus memulakan penjelasan dari mana. Perlukah kuterangkan sebalku sejak diminta guru menghantar buku ke bilik guru lalu menyusunnya lagi di rak buku?

            Loceng berbunyi. Ia bukan saja menamatkan masa rehat, malah juga menamatkan pertemuan singkat kami yang tidak terduga itu. Enggan, mata kami masih beradu namun kaki sudah mula melangkah, bersiap untuk memulakan kembali sesi belajar. Iman melangkah turun sementara aku membalikkan badanku untuk melangkah naik. Saat itu aku mula merasakan debaran jantungku mula mendetak kencang.

Tiba-tiba aku mendengar dia memanggil namaku.
            “Dian,”
Laju aku menoleh, “Ya?”
            “Kelas kita di bawah,” katanya membetulkan sambil menghantar senyum. Aku segera menyedari kesilapanku. Lalu antara rasa lucu dan malu, aku ketawa perlahan. Iman membalas ketawaku tanpa suara hingga akhirnya kedua kami sama-sama menikmati keadaan itu. Tawa kami pun terawang di udara. Begitu lepas, begitu lega, seolah-olah segala yang tersekat selama ini terangkat begitu saja.     

            Tanpa sedar tawa kami mengiringi langkah kami hingga ke anak tangga terakhir. Aku pasti akan paling ingat betapa indahnya detik ini. Dan tentu saja aku akan sangat berterima kasih pada cikguku yang ternyata telah memberi ruang pada pertemuan ini. Perasaan ini membuatkan aku merasa seperti anak kecil saat dibelikan mainan baru. Hatiku seperti dilonjak ke langit dan aku ingin menjerit gembira sepuasnya.

            Saat kaki kami melangkah untuk menuju kelas masing-masing, mata kami beradu lagi. Sunyi tiba-tiba menguasai sepertinya ada malaikat yang lalu untuk menghentikan bicara kami. Hatiku berbisik ingin bertanya bila lagi saat seperti ini dapat kami nikmati lagi. Namun kata-kata itu hanya tersekat di celah tulang dadaku. Lalu tanpa suara aku berbalik pergi. Ketika aku menoleh, dia ternyata masih berdiri di situ. Sampai ke malam dan dini, aku masih berfikir, betulkan mulutnya membentuk ‘besok’?

No comments:

Post a Comment